Monday, January 21, 2008

Resesi?

Awal tahun 2008 diisi dengan berita-berita yang mengejutkan, sekaligus membuat cukup banyak orang merasa panik. Isi dari berita itu adalah: resesi. Di bulan Januari 2008, harga minyak bumi sempat menyentuh angka US$ 100 per barrel, walau segera turun lagi. Lalu ada laporan keuangan kuartal keempat 2007 yang menunjukkan kerugian lembaga-lembaga besar di Amerika. Tambah lagi dengan tingkat pengangguran yang tinggi di negeri Paman Sam ini, dan dijatuhi bencana-bencana yang parah, badai, banjir, dan musim dingin yang dahsyat.


Akibat dari semua kondisi ini, produktivitas di Amerika menurun. Pasar sahamnya anjlok, merembet pada semua pasar saham lain di dunia. Pasar saham di negara kita turut terpengaruh, membuat IHSG anjlok cukup dalam. Ketika minggu lalu Citigroup mengumumkan kerugiannya di kuartal keempat US$ 9,83 MILYAR (atau kira-kira Rp 85 TRILIUN), pasar mengalami goncangan keras. Seberapa banyak kita harus takut?


Mari kita lihat. Yang pertama, ternyata pertumbuhan di Indonesia masih cukup tinggi. Sejumlah analis mengharapkan pertumbuhan ekonomi 2008 mencapai 7% (atau kurang sedikit dari angka ini). Bank Indonesia meluncurkan paket-paket untuk mendorong kredit kepada usaha menengah, sehingga dengan agunan yang sama bisa diperoleh modal yang lebih besar. Dengan semua ini, diharapkan jumlah pengangguran yang lebih dari 10 juta orang di akhir tahun dapat diserap pada lapangan kerja baru. Sementara itu, BI bersama Pemerintah bertekad untuk mempertahankan angka inflasi tahun 2008 sebesar 5% +/- 1% di tahun 2008, lalu 4,5% +/- 1% di tahun 2009, dan 4% +/- 1% di tahun 2010. Kalau ada pekerjaan dan inflasi rendah, maka daya beli masyarakat meningkat, konsumsi meningkat, dan perekonomian juga meningkat. Itu teorinya.


Dalam praktek, kita lihat bahwa bursa saham kita masih didominasi oleh saham-saham bluechips, yang dikeluarkan emiten besar seperti Telkom, BCA, dan Astra. Ada sesuatu yang menarik untuk diperhatikan di sini: betapa pun keadaan ekonomi naik dan turun, perusahaan-perusahaan ini hampir selalu meraih laba setiap tahun. Kenapa? Karena, masih banyak perusahaan yang menjalankan monopoli dan oligopoli di Indonesia. Telepon kabel di rumah, sampai hari ini nyatanya masih dimonopoli Telkom. Urusan mobil, pemain terbesarnya masih Astra. Urusan bank, pemain terbesarnya masih BCA. Masih lama waktunya sebelum ada pesaing-pesaing menggerogoti keuntungan mereka.


Sebegitu besar keuntungannya, sehingga pemilik saham Telkom merasa berkepentingan mengendalikan persaingan. Mereka adalah perusahaan Temasek dari Singapura, yang mendapatkan untung besar setelah membeli mayoritas saham Telkom. Untuk memperbesar keuntungan, mereka juga membeli banyak saham Indosat -- pesaing terdekat Telkom. Kemudian, perkembangan dan agresivitas Indosat ditahan, agar Telkom tetap untung. Praktek ini diketahui Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), yang kemudian menjatuhkan hukuman kepada Temasek dan Telkom diharuskan menurunkan harga. Ramai, sangat ramai.


Indonesia juga masih mempunyai banyak komodita, berupa bahan-bahan tambang dan hasil-hasil pertanian, yang sangat dicari orang. Apalagi di India dan China, yang sekarang ini pertumbuhan industrinya bukan main pesat. Ekspor Indonesia pun sekarang lebih banyak mengalir ke Asia daripada ke Amerika, sehingga sebenarnya penurunan order dari Amerika tidak terlalu berakibat fatal. Memang turun, memang untuk banyak pengusaha jadinya cukup merugikan, tapi secara keseluruhan tidak sampai 'membunuh' pasar. Masih ada surplus dari ekspor Indonesia ke negara-negara Asia dan Timur Tengah, memberikan keuntungan yang signifikan.


Faktor lainnya adalah kenyataan bahwa Pemerintah sampai hari ini masih lebih banyak melindungi pasar modal ketimbang pasar riil. Kita bisa lihat bagaimana jadinya dengan produk pertanian, seperti kedelai, jagung, dan minyak kelapa sawit (CPO = Crude Palm Oil). Sedikit latar belakang: satu dekade lalu, pertanian di Amerika surplus kedelai. Di sana ada panen kedelai yang berlimpah, sehingga diekspor ke seluruh dunia. Kedelai ini juga masuk ke Indonesia dan harganya lebih murah daripada produksi kedelai dalam negeri.


Kalau sudah begini, petani tidak mau rugi terus menerus menanam kedelai yang harganya murah. Jadi, banyak petani mengalihkan lahannya menanam tanaman lain. Soal lain di balik ini adalah: ada kecenderungan untuk melindungi perusahaan yang mengimpor kedelai, sehingga kran impornya dibuka lebar, membuat petani Indonesia harus bersaing langsung dengan pasar global. Pemerintah jelas lebih melindungi kepentingan pemodal yang terlibat di sini.


Beberapa waktu kemudian, terjadilah perang Amerika melawan terorisme. Sejak saat itu harga minyak bumi mulai melambung, karena di saat yang sama ekonomi China melonjak tajam, sehingga dari negara pengekspor kini berbalik menjadi pengimpor. Untuk mempertahankan suplai minyak, di Amerika mulai diproduksi bahan bakar alternatif yang dibuat dari jagung. Kini jagung bukan hanya untuk konsumsi manusia, tapi juga jadi konsumsi mesin. Tentu saja, harga jagung melonjak tajam. Kita mengalami saat-saat di mana kenaikan jagung menyebabkan kenaikan harga pakan ternak (karena lebih dari 50% komposisi makanan ternak adalah jagung), dan ujung-ujungnya kenaikan harga daging dan telur di pasar.


Begitu harga jagung melonjak, banyak petani di Amerika beralih dari kedelai kini menanam jagung, karena lebih menguntungkan. Selebihnya masih menanam kedelai, karena memang sudah mempunyai pasar. Sayangnya, keadaan cuaca membuat panen, semua panen, terganggu. Panen gandum, panen kedelai, dan banyak bahan makanan lain rusak karena kondisi alam yang terjadi di seluruh Amerika Utara dan Kanda, juga di Australia. Karuan saja, harga kedelai meningkat tajam, dalam 1 tahun kenaikannya 100%. Hari ini, harga kedelai menjadi tinggi, demikian juga dengan harga terigu.


Sementara itu, di negara tropis pun konversi bahan bakar alternatif dari tanaman terus berjalan, bukan dari jagung melainkan minyak kelapa sawit. CPO kini diminati karena dapat diubah menjadi biodiesel yang berkualitas tinggi. Seperti jagung, demikian juga harga CPO -- yang jadi bahan baku minyak goreng -- menjadi semakin tinggi dari hari ke hari. Satu pemantauan di pasar menunjukkan kenaikan harga minyak goreng curah sebesar Rp300-Rp500 per kg. Semua ini menekan pasar riil, menekan kebutuhan dasar banyak orang di Indonesia. Siapa yang untung? Perusahaan!


Jadi, sementara pasar riil tertekan, sebaliknya perusahaan-perusahaan yang mengelola semua transaksi ini mengalami keuntungan, dan mereka kemudian masuk ke pasar modal / go-public untuk mendapatkan lebih banyak permodalan, membangun lebih banyak pabrik. Tidak sulit untuk melihat bahwa kenaikan di pasar modal telah membawa bursa Indonesia menjadi yang terbesar di luar China. Siapa yang untung? Sebagian besar investor di bursa adalah orang-orang asing. Kenaikan ini menggembirakan orang dari Singapura, dari Malaysia, dari Australia, dari Amerika, dari mana saja.... sayangnya, rakyat Indonesia sendiri tidak tahu dan tidak kebagian berinvestasi, karena tidak tahu caranya atau tidak punya cukup modal.


Tahun 2008 mungkin akan menjadi buruk bagi pasar riil, dengan masalah bahan makanan, masalah energi -- kelangkaan minyak, gas LPG, dan proses konversi minyak tanah yang kontroversial. Untuk perusahaan-perusahaan kecil yang tidak mempunyai basis yang kuat, manajemen yang baik, rasanya sukar sekali bertahan. Hanya usaha-usaha yang fundamental: makanan, kesehatan, pendidikan, telekomunikasi, dan transportasi, yang masih dapat bertahan dan membesar. Tetapi untuk perusahaan besar, semua yang masuk ke pasar modal, masih ada harapan yang tinggi. IHSG diperkirakan masih akan naik hingga melampaui angka 3000.


Dapatkah kita melawan arah? Bagaimana dengan orang-orang yang ada di papan menengah, apa yang dapat mereka lakukan untuk tetap memenuhi kebutuhan-kebutuhan penting dalam jangka panjang?


Semakin penting bagi kita semua untuk memahami investasi, reksa dana, dan unit link, sebagai cara untuk tetap mendapatkan bagian keuntungan dari pasar modal, sementara kita sendiri tidak mempunyai akses langsung atau modal yang besar ke sana. Dengan berada di reksa dana secara pasif, investor pada equity fund masih mendapat lebih dari 50% dalam jangka waktu 1 tahun 2007. Seandainya return tahun 2008 di bawah itu, rasanya tidak akan kurang dari 30%, apalagi kalau benar inflasi bisa ditekan dan pertumbuhan ekonomi mencapai 7% seperti yang direncanakan.


Sekarang masalahnya adalah waktu; seberapa lama waktu yang dibutuhkan untuk memberitahu, mengajarkan, sampai orang memahami dan memutuskan? Investasi berkaitan erat dengan waktu, semakin cepat semakin baik. Tetapi berinvestasi tanpa pemahaman adalah hal yang berbahaya, karena sekarang ini banyak juga tawaran-tawaran yang kelihatan menggiurkan tetapi sebenarnya menjebak orang dalam kerugian.


Selamat berinvestasi, mumpung sekarang NAB sedang turun. Ingatlah, hanya dengan 500 ribu rupiah pun cukup, jadi mengapa harus menunggu sampai bisa berinvestasi ratusan juta?


Salam sukses,


Donny


Powered by Qumana